Bima Tulak

Para Pandawa disertai Gatutkaca sedang membicarakan rencana pembukaan hutan Suwelagiri untuk dijadikan sawah. Prabu Darmakusuma minta agar masing-masing Pandawa membuat sawah sesuai dengan perintah dewa-dewa, dan agar pembuatan sawah itu dapat diselesaikan dalam waktu satu hari. Tentang luasnya agar disesuaikan dengan kekuatan masing-masing; paling sedikit membuat tempat untuk pembibitan padi.

Mereka semua berangkat ke hutan Suwelagiri. Prabu Darmakusuma mengambil tempat di tengah, dengan mempergunakan Aji Amral pembuatan sawah itu cukup dengan ditengok (diinguk) saja, sehingga setelah jadi dinamakan Sawah Sak Inguk.

Berganti Raden Werkodara maju akan membuat sawah, ia duduk lalu menerapkan Aji Jala Sengkara. Karena saktinya mantra itu hanya dengan menggerakan bahunya saja semua batu besar maupun pohon besar dapat disingkirkan dan jadilah sawah itu. Karenanya sawah Raden Werkodara dinamakan Sawah Sebahu.


Kemudian Raden Arjuna mengambil pinggir hutan. Ia duduk beralaskan daun-daunan, lalu merebahkan diri dan tiduran sambil berselimut (mujung). Dengan menerapkan Aji Sepi Angin ia mulai berdoa. Tidak lama kemudian sawah itu telah selesai, dan dinamakan
Sawah Saejung.

Raden Nakula ketika melihat ketiga kakaknya telah selesai membuat sawah, ia dengan tergesa-gesa ingin mengikuti jejak kakaknya. Agar cepat selesai tanah itu diludahinya (idu), maka jadilah sawah itu, dan dinamakan Sawah Saidu.

Raden Sadewa demikian juga, karena terburu-buru ia hanya dapat menyiapkan tanah sedikit (saecrit). Setelah jadi dinamakan Sawah Saecrit.

Raja Amarta beserta adik-adiknya menjadi petani, mereka juga menyabit rimput, menyiapkan lahan, menyebar padi untuk bibit, dan lain-lain pekerjaan petani. Setelah benih padi tumbuh, maka bibit padi itu dipkul dibawa ke sawah masing-masing untuk ditanam. Mereka juga menyiangi rimput-rimput liar yang tumbuh. Selesai dengan pekerjaan itu mereka tinggal merawat dan menunggu buah padinya menjadi siap dipetik.

Tersebutlah di negara Nganjuk hama tanaman yang merupakan anak-anak Prabu Kalagumarang menghadap ayahandanya. Puthut Jayalapa, adik Prabu Kalagumarang melaporkan bahwa para hama tanaman ini telah beberapa hari menangis karena kelaparan. Mereka mendengar berita bahwa di Amarta banyak tanaman padi, karenanya mereka akan pergi ke sana mencari makan. Ia memintakan izin untuk berangkat ke sana.

Sebetulnya Parabu Kalagumarang merasa khawatir akan keselamatan para hama, karena mengetahui bagaimana saktinya para Pandawa. Namun ia juga tidak dapat melarang ; untuk menjaga keselamatan para hama ia memberi pusaka yang bernama Tumbak Kyai Ujung Langkir, khasiatnya bila hama yang mau mati akan hidup lagi bila pusaka itu diletakkan di atas hama yang mati.

Setelah mendapat restu, mereka lalu berangkat. Karena merupakan hama,perjalanan mereka cepat sekali dan tidak terlihat oleh manusia. Puthut Jayalapa hanya memperhatikannya dari jauh.

Setelah sampai di sawah dengan tanaman padinya yang subur, mereka tidak lagi dapat menahan diri . Semuanya menyrbu dan makan tanaman padi dengan perasaan gembira. Puthut Jayalapa hanya mengawasi dari jauh, percaya bahwa bila ada yang mengganggu para hama akan dapat dimusnahkan dengan pusaka tadi. Tanaman yang terkena hama tanpa ampun lagi menjadi rusak dan mati.

Pada suatu hari Raden Nakula memeriksa tanamannya ke sawah, terkejut sekali ketika melihat tanaman padinya banyak sekali yang mati. Ia segera menuju ke tempat kakak-kakaknya. Pada saat itu saudara-saudaranya sedang berkumpul, datanglah Raden Nakula memberitahu bahwa tanaman mereka mati semua. Mereka terkejut, karena beberapa hari yang lalu tanamannya masih terlihat subur. Mereka semua menuju ke sawah masing-masing.

Raden Arjuna memberitahu bahwa terdengar suara berisik di antara batang padi, sedangkan Prabu Darmakusuma membicarakan bagaimana caranya agar tanamannya menjadi sehat lagi. Raden Wrekodara mengetahui bahwa tanamannya disebu para hama. Ia berpendapat bahwa hama itu dapat dibasmi. Prabu Darmakusuma dan lainnya mengikuti bagaimana upaya Wrekodara dalam membasmi hama. Wrekodara meminta semuanya telanjang sambil membawa sesajian penolak hama berjalan mengelilingi sawah mereka.

Raden Wrekodara berjalan paling depan, diikuti oleh Prabu Darmakusuma yang membaca mantra serta membawa serat membawa Serat Klimasada dan di belakangnya adik-adiknya yang lain. Ketika mulai membaca mantra yang berbunyi sebagai berikut:

1. Mel Plecung
Semilah sundul gunung moncar uruping cahya, susurem damaring jagad, salallahu ngalahi wasalam, lumpurana, rampung.

2. Mel Gentur
Tunjungsari sarining ngukir, putra Pandhu Dewanata pretapane, dhasar bagus terusing ngati, pan leburing jagading ama iki, rampung.

3. Mel Tanggul
Semilah jambe-jambe thongun, ana baya mambang alun-alun, tapung kepruka marang ama, rampung.

4. Mel Tarung
Subana subani telenge kembang, sahadat kalima kekalih delinga, ngama bareng pesating nyawa iki, rampung.

5. Mel Gulung
Gulung-gulungan emel sida mati ora lunga mendhung ajur telujuring nyawa ama, salallahu, rampung.

6. Mel Sipat
Koluk jati rampung gunung, kang kotedha sira manyar gawa luwung gancang-gancang carita kabeh, salalaahu ngalahi wasalam, rampung.


Para hama terkejut karena terkena pengaruh tolak bala tadi. Mereka berlarian, dan ketika melihat phallus Bima mereka menjadi pingsan. Puthut Jayalapa yang melihat hal itu segera meletakan pusaka tadi di atas hama yang pingsan. Ada yang siuman, tetapi akan makan tanaman lagi sudah tidak berdaya. Berulang kali dikerjakannya tetapi hasilnya tidak memuaskan, oleh karenanya Puthut Jayalapa mengajak para hama itu pulang kembali ke Nganjuk. Semula para hama tadi menolak untuk pulang, tetapi dipaksa oleh Puthut Jayalapa.

Dengan selesainya mereka mengelilingi sawah, maka bersihlaj sawah tadi dari hama. Mreka lalu bernusana kembali. Beberapa hari kemudian mereka memeriksa tanaman mereka yang sudah mulai hidup subur dan mulai nerbunga. Mereka bebesar hati ketika padinya telah dapat dituai.

Disebutkan oleh penulisnya bahwa lakon ini diambil dari Babad Grenteng.

Previous
Next Post »